Selasa, 02 April 2013

KESEHATAN MENTAL MENURUT PARADIGMA PSIKOLOGI


BAB I
PENDAHULUAN

Semua orang yang ada di dunia ini pasti ingin untuk hidup sehat, karena kesehatan adalah harta yang tak ternilai harganya, banyak cara yang di tempuh oleh semua orang untuk memperoleh kesehatan. Seseorang dikatakan sehat tidak hanya dilihat dari segi fisiknya saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi kesehatan mentalnya. Mental merupakan salah satu unsur pembentuk jiwa. Kesehatan mental sangat penting untuk selalu kita jaga, karena fisik yang kuat tak akan berarti tanpa mental jiwa yang sehat. Tidak seorangpun yang tidak ingin menikmati ketenangan hidup, dan semua orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidak puasan.
Hidup yang bermakna menjadi sebuah jawaban, maka dari situlah kepribadian Islam menjadi harapan di tengah-tengah kemajemukan  masyarakat dan peradaban global. Sebagai alternatif, kesehatan mental merupakan solusi melalui paradigma pendidikan untuk mengembangkan sisi-sisi potensi kecerdasan qalbiyah baik secara spiritual, kognitif-intelektual, afeksi-emosional dan psikomotor-amaliah. Upaya pemetaaan konsep pendekatan dalam tulisan ini tidak lepas dari paradigma psikologi Islam sebagai "pisau analisis" dalam memahami fenomena psikologis manusia dan kemanusiaanya secara utuh dalam seluruh stuktur kepribadiannya. Dengan demikian, dalam tulisan ini persoalan yang akan dikaji tidak lebih merupakan bahan telaah Pengantar Psikologi Islam: kesehatan mental dalam psikologi Islam, kesehatan mental: solusi pengembangan qalbiah, dan integrasi dimensional kecerdasan qalbiah dalam ranah pendidikan.
Dalam literatur Psikologi, ditemukan beberapa pengertian kesehatan mental. Musthafa Fahmi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: Pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.
Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan ”terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Dalam pengertian yang luas kesehatan mental dapat diartikan sebagai terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup harus dapat saling membantu dan bekerja sama satu dengan lainnya sehingga dapat tercapai keharmonisan yang dapat menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin. Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan tegas itu dapat dicapai antara lain dengan keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral dan sebagainya.
 
BAB II
LANDASAN TEORI

A.    PENGERTIAN KESEHATAN MENTAL
Istilah kesehatan mental dalam Al quran dan Hadits digunakan dengan berbagai kata antara lain najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa'adah (kebahagiaan). Bentuk kesehatan mental meliputi:
yang berlaku di dunia yaitu keselamatan dari hal-hal yang mengancam kehidupan dunia.
yang berlaku dalam kehidupan akhirat yaitu selamat dari celaka dan siksaan di akhirat termasuk menerima ganjaran dan kebahagiaan dalam berbagai bentuk.
Dalam al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi kesehatan mental, yang meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah, yang semuanya ditujukan untuk mendapatkan hidup yang lebih berarti dan akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sedangkan, Orang yang mempunyai mental yang sehat menurut Al Ghazali digambarkan dalam konsep insan kamil (manusia paripurna/sempurna). Insan kamil dalam konsep psikologi modern yaitu bisa berlaku di dunia ini artinya untuk sampai pada kedudukan insan kamil manusia melalui perubahan kualitatif sehingga ia mendekati (qurb) Allah dan menyerupai malaikat. Dari konsep insan kamil dapat kita tarik kesimpulan bahwa orang yang sehat mental (insan kamil) diantaranya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.    motif utama setiap tindakannya adalah beribadah kepada Allah.
2.    senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dalam menghadapi segala permasalahan.
3.    beramal dengan ilmu.
Menurut Hasan Langgulung, kesehatan mental dapat disimpulkan sebagai “akhlak yang mulia”. Oleh sebab itu, kesehatan mental didefinisikan sebagai “keadaan jiwa yang menyebabkan merasa rela (ikhlas) dan tentram ketika ia melakukan akhlak yang mulia.
Didalam buku Yahya Jaya menjelaskan bahwa kesehatan mental menurut islam yaitu, identik dengan ibadah atau pengembangan potensi diri yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan agama-Nya untuk mendapatkan Al-nafs Al-muthmainnah (jiwa yang tenang dan bahagia) dengan kesempurnaan iman dalam hidupnya.
Sedangkan dalam bukunya Abdul Mujib dan Yusuf Mudzkir kesehatan menurut islam yang dkutip dari Musthafa fahmi, menemukan dua pola dalam mendefenisikan kesehatan mental:
Pola negatif (salaby), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari  neurosis (al-amhradh al-'ashabiyah) dan psikosis (al-amhradh al-dzihaniyah).
Pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosial.


B.     DEFINISI KESEHATAN MENTAL MENURUT TOKOH ISLAM
Kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari bingkai paradigma sains kontemporer, dimana kesehatan mental diukur dengan sejauh mana persepsi seseorang terhadap realitas empirik semata. Kesehatan mental dianggap identik dengan seberapa mampu seseorang dalam mempersepsi terhadap lingkungan realitas empirik dengan baik. Realitas empirik yang dimaksud disini mencakup lingkungan yang terbaas pada diri dan masyarakat di sekitarnya. Realitas meta empirik yang meliputi makhluk spiritual, alam ruh, Allah, dan sebagainya. Arah penyempurnaan kajian mental yaitu pada ketercakupan seluruh potensi manusia yang multi dimensi.
Disini, Zakiah Darajat merumuskan pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia yaitu sebagai bentuk personifikasi iman dan takwa seseorang. Hal ini dipahami bahwa semua kriteria kesehatan mental dirumuskan mengacu pada nilai-nilai iman dan takwa.
Unsur iman dan takwa berdasar pada kenyataan bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang tampaknya hidup bahagia dan sejahtera, kepribadiannya menarik, sosialitasnya sangat baik, tetapi sebenarnya memiliki jiwa gersang dan stress karena tidak beragama atau kurang taat dalam beragama, dan itu dinyatakan sebagai kesehatan mental semu. Secara nyata seseorang tersebut dapat dinyatakan sebagai orang yang sehat mental, karena perilakunya dinilai sangat baik oelh lingkungan, namun jika dilihat dari pengertian Zakiah Darajat, orang tersebut tidak sehat mental,karena orang tersebut gagal dalam hubungan dengan Tuhannya.
Dari penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa hakekat kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integralitas kepribadian yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Zakiah Darajat juga mengemukakan empat indikator untuk mengetahui tingkat kesehatan mental, diantaranya:
1. Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental dan penyakit.
2. Ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, dan Tuhannya.
3. Ketika seseorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problema dan keadaan hidup sehari-hari.
4. Ketika dalam diri seeorang terwujud keserasian, dn keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.
Ilmu kesehatan mental tidak jauh berbeda dengan psikologi agama. Menurut Hasan Langgulung, sekalipun kesehatan mental itu merupakan istilah dan ilmu baru, tetapi hakekatnya sama dengan konsep kebahagiaan, keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran. Penganalogan kesehatan mental dengan konsep kebahagiaan itu menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan suatu kondisi jiwa yang sehat secara wajar dan optimal. Jalal Syaraf mengistilahkan dengan “al-Mustawa al-Shahiy al-Aqliy 'Ammatan”, yaitu suatu kondisi jiwa yang sehat bisa dibahas ketika berbicara tentang terhndarnya seseorang dari penyakit jiwa, pengendalian diri, terwujudnya integritas antara berbagai fungsi-fungsi kejiwaan. Sementara Ibnu Sina mengemukakan bahwa kebahagiaan tidak bisa lepas dari kajian akhlak, karena kebahagian tanpa kahlak mulia itu tidaklah mungkin. Kebersiah dan kesucian kalbu menjadi kunci utama perolehan kebahagiaan. Kalbu atau jiwa yang suci membuat seseorang jauh dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Al Ghazali juga menyebutkan bahwa teori kebahagiaan sebagai cerminan kesehatan mental dalam balutan akhlak sufistik.

C.     IMAN DAN KESEHATAN MENTAL
Dalam hal ini, iman sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, jika ingin hidup tenang dan bahagia. Kepribadian yang di dalamnya terkandung unsur-unsur agama dan keimanan yang cukup teguh, maka setiap ada masalah, orang tersebut akan menghadapinya dengan tenang. Dimana unsur terpenting yang yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan manusia adalah iman yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Maka dala Islam, prinsip pokok yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman itu yang menjadi pengendali sikap, ucapan, tindakan, dan perbuatan. Berikut ini adalah pengaruh iman terhadap kesehatan mental:
Iman kepada Allah
Keimanan adalah suatu proses kejiwaan yang tercakup di dalamnya semua fungsi jiwa, perasaan dan pikiran sama-sama meyakinkannya. Apabila iman tidak sempurna, maka manfaatnya bagi kesehatan mentalpun kurang sempurna. Misalnya, belakangan ini di negara Indonesia memang benar mayoritas Islam dan bertuhan. Namun banyak sekali orang yang tidak mampu menggunakan kepercayaannya itu dalam hidupnya. Mereka gelisah, hidup tidak tentram, dimana-mana terjadi pertengkaran dan permusuhan, baik dalam rumah tangga maupun lingkungan luar.
Untuk dapat mencapai keimanan yang sungguh dan menjamin kebahagiaan hidup, maka bagi Muslim, percaya adanya Allah itu wajib. Termasuk juga percaya dengan sifat-sifat Allah. Seprti orang yang percaya tentang adanya Allah (wujud), maka orang tersebut tidak akan pernah kesepian dimanapun dia berada.
Iman kepada malaikat
Kepercayaan akan adanya malaikat adalah bahwa kepercayaan itu menentramkan batin dan mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental.
Iman kepada kitab Allah
Berdasarkan penelitian di klinik jiwa, menunjukkan bahwa, betapapun buta hurufnya seseorang tentang al-Quran, namun setelah mereka mengalami gangguan kejiwaan atau diserang oleh rasa cemas dan konflik jiwa yang tidak teratasi, banyak sekali yang menggunakan al-quran sebagai penenang hatinya. Dimana dengan al-Quran, bisa menetramkan batin dan melegakan jiwa, yang selanjutnya menjamin kesehatan mental.
Iman kepada rasul Allah
Apabila kita tidak percaya terhadap rasul-rasul Allah, kita tidak akan dapat menjalankan agama. Karena agama dibawa oleh nabi dan rasul Allah. Selanjutnya, kita tidak akan sanggup pula mendekatkan diri kepada Allah, sehingga berakibat datangnya kecemasan dan kegelisahan.
Sebenarnya, jika kita teliti keistimewaan semua rasul Allah, akan ditemukan bahwa setiap ajaran mereka yang terpenting dan menonjol, juga terdapat ajaran Islam. Termasuk juga jika kita mampu mengakui keberadaan nabi-nabi terdahulu.
Kesimpulannya, kepercayaan kepada nabi dan Rasul Allah itu menentramkan batin dan memungkinkan persatuan dengan semua penganut agama yang mereka bawa.
Iman kepada hari kiamat
Kepercayaan tehadap hari kiamat, mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan akhirat. Yang selanjutnya akan menjamin kesehatan mental yang dibutuhkan oleh jiwa.
Iman kepada qada' dan qadar
Kepercayaan terhadap takdir Allah, dapat mengurangi rasa tertekan jiwa karena kegagalan dalam usaha atau dalam hidup pada umumnya. Dengan kepercayaan yang keenam ini, seseorang dapat terhindar dari rasa kecewa dan frustasi yang mendalam. Hal ini menjamin kesehatan mental orang yang beriman.

D.    PATOLOGI/ PENYAKIT MENTAL DALAM ISLAM
Para pemikir islam mengemukakan beberapa penyakit mental yaitu:
Ø  riya' yaitu bertingkah laku karena motif ingin dipuji atau diperhatikan orang lain.(Qs.An nisa:142, Qs.At taubah:67)
Ø  hasad dan dengki atau iri hati yaitu tidak suka pada kebahagiaan orang lain. (Qs.An nisa:54, Qs.Al Falaz:1-5)
Ø  rakus yaitu hasrat yang berlebih-lebihan dalam makan.
Ø  waswas. Para pemikir islam berpendapat bahwa waswas merupakan bisikan hati, akan cita-cita dan angan-angannya dalam nafsu dan kelezatan.
Ø  bicara berlebih-lebihan. Jika seseorang menyukai bicara yang berlebihan maka dia akan lebih banyak berbohong.
Ø  melaknati orang yaitu menyumpahi atau mendoakan hal-hal yang buruk untuk orang lain.
Ø  ingkar janji. Jika janji itu diingkari karena nafsu bukan karena hal-hal yang mendesak.
Ø  berbohong.
Ø  mengadukan orang lain (naminah) yaitu menyampaikan hal-hal yang tidak disukai oleh orang yang bersangkutan.
Ø  membicarakan kejelekan orang lain di belakang orang tersebut (ghibah).
Ø  sangat marah (syiddat alghadab).
Ø  cinta dunia (hubb ad dunya).
Ø  cinta harta (hub al-mal).
Ø  kebakhilan yaitu pelit atau menyembunyikan dan menumpuk harta.
Ø  cinta pada kedudukan atau pangkat (hubb al-jah).
Ø  kesombongan (kibr) atau bangga (ujub).


E.     INTERVENSI
Ar-Razi dalam bukunya 'Al-Thib al-Rûhâniy' menjelaskan cara perawatan dan penyembuhan penyakit-penyakit kejiwaan dengan melakukan pola hidup sufistik. Melalui konsep zuhud, pengendalian diri, kesederhanaan hidup, jauh dari akhlak buruk, menjadikan akal sebagai esensi diri merupakan kunci-kunci perolehan kebahagiaan hidup.

F.      ANALISIS
Dari pengertian dan penjelasan kesehatan mental dalam tinjauan islam, dapat dipahami bahwa islam memberikan konsep yang komprehensiv dan menyeluruh dalam memahami kesehatan mental. Berbeda dengan pandangan freud mengenai kesehatan mental yang hanya melihat dari sisi individu. Yaitu ketika ego dapat menjembatani antara dorongan id dan tuntutan superego tanpa adanya kecemasan dan defence mechanism yang dilakukan oleh ego, dan juga pandangan-pandangan madzhab psikologi lainnya. Dalam makalah ini konsep kesehatan mental menurut tinjauan islam akan diperbandingkan dengan konsep-konsep psikologi kontemporer, yaitu psikoanalisa, behavioristik, dan humanistik.
Psikoanalisa
Dalam kaitannya dengan psikoanalisa, sudah dijelaskan bahwa konsep kesehatan mental yang diyakini oleh freud adalah ketika ego dapat menjembatani antara dorongan id dan tuntutan superego secara realistis dan tanpa melibatkan kecemasan pada individu atau dikenal dengan istilah ego strength. Konsep psikoanalisis mendasarkan perilaku manusia yang timbul atas dasar dorongan id yang dalam Islam disebut nafsu. Ada istilah superego, namun lebih ditekankan pada nilai-nilai yang dianut dari lingkungan dan bukan potensi yang asalnya dari Tuhan. Psikoanalisis terlalu menekankan alam bawah sadar sehingga terkesan mengesampingkan akal. Islam sebagai sebuah cara pandang di dalam kesehatan mental mengakomodir kemampuan akal dan bahkan qalb dalam mengatasi dorongan-dorongan nafs yang negative. Qalb ini merupakan potensi yang datangnya dari Ilahi, dan bukan hasil bentukan lingkungan seperti superego. Psikoanalisis juga terlalu memandang negative manusia. Berbeda dengan Islam yang menggambarkan manusia sebagai khalifah fi lard sekaligus insan kamil yang penuh dengan potensi positif. Meski Islam juga tidak mengesampingkan bahwa manusia memiliki potensi negative.
Behavioristik
Orang yang sehat mental menurut konsep behavioristic adalah orang yang perilakunya merupakan hasil belajar yang benar. Pada hakikatnya, manusia adalah kertas kosong yang perilakunya akan sangat ditentukan oleh pewarnaan lingkungan. Sehingga kesehatan mental itu datangnya dari lingkungan. Behavioristik terlalu memandang mekanis manusia dan terkesan mengabaikan potensi-potensi manusia seperti akal, dan hati nurani.
Islam sebagai sebuah cara pandang dalam kesehatan mental, menerapkan beberapa hokum behavioristic dalam metode penyampaian ajarannya. Ada istilah pahala dan dosa yang berlaku sebagai reward dan punishment. Namun islam tidak lantas memandang manusia berbuat baik atau jahat hanya karena adanya kedua hal tersebut. Islam tidak mengabaikan potensi yang ada pada diri manusia, perilaku manusia tidak hanya ditentukan lingkungan, namun individu juga memiliki kehendak untuk memilih perilaku apa yang akan ditampakkannya. Apaka individu akan menuruti nafs jelek? Atau akan menuruti qalb-nya?
Humanistik
Dalam konsep humanistik memandang seseorang yang memiliki mental yang sehat adalah orang yang dapat berfungsi sepenuhnya (fully functioning person), yaitu orang-orang yang dapat mencapai penyesuaian psikologis secara baik. Orang-orang tersebut memiliki tanda-tanda diantaranya adalah terbuka terhadap pengalaman, percaya kepada organismenya sendiri, dapat mengekspresikan perasan-perasaannya secara bebas, bertindak secara mandiri, dan kreatif.
Sekarang jelaslah bahwa islam memiliki pandangan yang komprehensiv dalam memahami kesehatan mental, hal ini diperkuat karena manusia tidak hanya makhluk hedonis atau makhluk ynag hanya memiliki ikatan dengan dirinya dan lingkungannya seperti yang dijelaskan oleh madzhab-madzhab di atas melainkan manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah abdiah dan khalifah.
BAB III
KESIMPULAN

Kesehatan mental didefinisikan sebagai “keadaan jiwa yang menyebabkan merasa rela (ikhlas) dan tentram ketika ia melakukan akhlak yang mulia. Bentuk kesehatan mental meliputi:
yang berlaku di dunia yaitu keselamatan dari hal-hal yang mengancam kehidupan dunia.
yang berlaku dalam kehidupan akhirat yaitu selamat dari celaka dan siksaan di akhirat termasuk menerima ganjaran dan kebahagiaan dalam berbagai bentuk.
Ciri-ciri orang yang sehat mentalnya menurut Al Ghazali adalah sebagai berikut:
1.    motif utama setiap tindakannya adalah beribadah kepada Allah.
2.    senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dalam menghadapi segala permasalahan.
3.    beramal dengan ilmu.
Indikator untuk mengetahui tingkat kesehatan mental menurut Zakiah Darajat, diantaranya:
1. Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental dan penyakit.
2. Ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, dan Tuhannya.
3. Ketika seseorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problema dan keadaan hidup sehari-hari.
4. Ketika dalam diri seeorang terwujud keserasian, dn keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.
Kesehatan mental manusia memiliki korelasi positif dengan keimanan. Islam memiliki pandangan yang komprehensiv dalam memahami kesehatan mental, hal ini diperkuat karena manusia tidak hanya makhluk hedonis atau makhluk yang hanya memiliki ikatan dengan dirinya dan lingkungannya seperti yang dijelaskan oleh madzhab-madzhab psikologi barat melainkan manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah abdiah dan khalifah.

qualitative and quantitative research


    1. Qualitative Methods in ESL Research
Qualitative research involves investigations of concepts or phenomena that are not numerically measurable, such as perceptions or opinions and the reasons behind them. Methods used to gather such information in ESL research include open-ended interviews (with ESL students or teachers) in which both the interviewer and subject feel free to expand upon, diverge from or skip certain questions. Other qualitative methods include classroom observation and analysis of unscripted language use (such as recordings of casual conversations or teacher-student conferences).

    1. Advantages and Disadvantages of Qualitative Methods
Qualitative methods are commonly used in ESL research because they are able to capture the holistic nature of second-language learning. ESL learning is strongly affected by extralinguistic factors such as students' cultural backgrounds and attitudes, so learning can't be accurately analyzed just by looking at language use in isolation. Research methods such as open-ended interviews and classroom observation may also be more agreeable and less intimidating to subjects being studied than participating in experiments or answering written surveys. A potential disadvantage is the perception among some researchers that qualitative methods are less rigorous and objective than quantitative ones, which causes some qualitative research to be taken less seriously.

    1. Quantitative Methods in ESL Research
Quantitative research methods, which deliver measurable, replicable results, are also used in ESL research. Typical methods include surveys and questionnaires with fixed options for possible answers. Written questionnaires in ESL research, for instance, may consist of multiple-choice questionnaires asking ESL teachers about the teaching techniques they use; or surveys on the student demographics of ESL programs.

    1. Advantages and Disadvantages of Quantitative Methods
Quantitative research methods are useful for delivering concrete numerical data and testable theories. Thus, educational policymakers generally pay more heed to results of quantitative than qualitative research. Quantitative methods, however, can only shed limited light on the reasons behind the numbers, and are thus better for describing patterns than explaining them.

Rabu, 16 Januari 2013

makalah etika dan profesi keguruan


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah yang menguasai alam beserta isinya. Dengan berkah, taufik dan hidayah yang telah diberikan kepada kita semua dan penulis khususnya sehingga kami dapat mengikuti studi kami di semester genap ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan alam, kekasih Allah Nabi agung Muhammad SAW yang telah memberi kita pelita dan menuntun kita semua dari kegelapan, kebodohan dan membawa kita ke alam yang penuh pengetahuan. Selesainya makalah pada mata kuliah Guidance And Counseling ini, tidak terlepas dari bimbingan Dosen pengampu dan partisipasi dari teman-teman semua yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya demi terselesai makalah ini. ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak atas tunjuk ajar, kritik dan saran serta partisipasinya, semoga Allah SWT membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis.
Sudah tentunya penulis berharap, semoga makalah yang telah disusun ini dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari bagi penulis khususnya, dan para pembaca umumnya. Dari itu kritik dan saran yang sifanya membangun penulis harapkan untuk perbaikan di masa akan datang.















BAB I
PENDAHULUAN
I.       Pendahuluan
  Standarisasi dan Profesionalisme pendidikan yang sedang dilakukan dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen sistem pendidikan. Agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menafsirkan kewenangan yang diberikan, dituntut pemahaman semua pihak terhadap berbagai kebijakan baik itu secara Makro maupun Mikro.
   Keberhasilan atau kegagalan Implementasi kurikulum disekolah sangat bergantung pada guru dan kepala sekolah, karena dua figur  tersebut merupakan kunci  yang menentukan serta menggerakan berbagai komponen dan dimensi sekolah yang lain. Dalam posisi tersebut baik buruknya komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh kualitas guru dan kepala sekolah, tanpa mengurangi arti penting tenaga kependidikan lainnya, mereka dituntut untuk mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaraan (RPP) berdasarkan Kompetensi Dasar (KD) yang dapat digali dan dikembangkan oleh peserta didik.
   Secara jujur harus diakui bahwa sukses tidaknya Implementasi kurikulum sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru yang akan menerapkan dan mengaktualisasikan kurikulum tersebut dalam pembelajaran. Kemampuan guru tersebut terutama berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap implementasi kurikulum, serta tugas yang dibebankan kepadanya, karena tidak jarang kegagalan implementasi kurikulum di sekolah disebabkan oleh kurangnya pemahaman guru terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakannya
   Kesuksesan  siswa dalam belajar tergantung kepada guru yang memiliki peran  dalam mengajar. Oleh karna itu guru harus memiliki karakteristik sebagai seorang guru, pengajar, pendidik, pembimbing, penasehat, pelatih, model/teladan dan kulminator. Guru tidak hanya dituntut sebagai pendidik atau pengajar namun guru harus memberikan lebih perihatin kepada peserta didiknya.
   Guru adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut. Guru merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran, karena guru yang akan berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Melalui guru pula ilmu pengetahuan dapat ditransperkan.
II.    Latar Belakang
              Istilah guru pada saat ini mengalami penciutan makna. Guru adalah orang yang mengajar di sekolah. Orang yang bertindak seperti guru seandainya di berada di suatu lembaga kursus atau pelatihan tidak disebut guru, tetapi tutor atau pelatih. Padahal mereka itu tetap saja bertindak seperti guru. Mengajarkan hal-hal baru pada peserta didik.
              Terlepas dari penciutan makna, peran guru dari dulu sampai sekarang tetap sangat diperlukan. Dialah yang membantu manusia untuk menemukan siapa dirinya, ke mana manusia akan pergi dan apa yang harus manusia lakukan di dunia. Manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya memerlukan bantuan orang lain, sejak lahir sampai meninggal. Orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan harapan guru dapat mendidiknya menjadi manusia yang dapat berkembang optimal.
              Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individu, karena antara satu perserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar
















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Etika Profesi Keguruan
Etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik,
  • Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia :
    1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
    2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan. Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
      1. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
      2. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
a.       Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b.      Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang  ibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian.
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah  pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.

B.     Pengertian Profesi dan ciri-cirinya
  1. Pengertian profesi
Secara estimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.
Profesi Keguruan, Kata Profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Di dalam profesi dituntut adanya keahlian dan etika khusus serta standar layanan. Pengertian ini mengandung implikasi bahwa profesi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang secara khusus di persiapkan untuk itu. Dengan kata lain profesi bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk mem bedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi Dua pendekatan untuk mejelaskan pengertian profesi:
1.      Pendekatan berdasarkan Definisi
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari Manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.
2.      Pendekatan Berdasarkan Ciri
Definisi di atas secara tersirat mensyaratkan pengetahuan formal menunjukkan adanya hubungan antara profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan lembaga yang mengembangkan dan meneruskan pengetahuan profesional. Karena pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang yang memuaskan tentang profesi yang diperoleh dari buku maka digunakan pendekatan lain dengan menggunakan ciri profesi.
Secara umum ada 3 ciri yang disetujui oleh banyak penulis sebagai ciri sebuah profesi. Adapun ciri itu ialah:
a.       Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimulai sesudah seseorang memperoleh gelar sarjana. Sebagai contoh mereka yang telah lulus sarjana baru mengikuti pendidikan profesi seperti dokter, dokter gigi, psikologi, apoteker, farmasi, arsitektut untuk Indonesia. Di berbagai negara, pengacara diwajibkan menempuh ujian profesi sebelum memasuki profesi.
b.      Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Pelatihan tukang batu, tukang cukur, pengrajin meliputi ketrampilan fisik. Pelatihan akuntan, engineer, dokter meliputi komponen intelektual dan ketrampilan. Walaupun pada pelatihan dokter atau dokter gigi mencakup ketrampilan fisik tetap saja komponen intelektual yang dominan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahliannya yang rata-rata tidak diketahui atau dipahami orang awam. Jadi memberikan konsultasi bukannya memberikan barang merupakan ciri profesi.
c.       Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat. Dengan kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru, pustakawan, engineer, arsitek memberikan jasa yang penting agar masyarakat dapat berfungsi; hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh seorang pakar permainan catur, misalnya. Bertambahnya jumlah profesi dan profesional pada abad 20 terjadi karena ciri tersebut.
Untuk dapat berfungsi maka masyarakat modern yang secara teknologis kompleks memerlukan aplikasi yang lebih besar akan pengetahuan khusus daripada masyarakat sederhana yang hidup pada abad-abad lampau. Produksi dan distribusi enersi memerlukan aktivitas oleh banyak engineers. Berjalannya pasar uang dan modal memerlukan tenaga akuntan, analis sekuritas, pengacara, konsultan bisnis dan keuangan. Singkatnya profesi memberikan jasa penting yang memerlukan pelatihan intelektual yang ekstensif.’
Profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini:
a.       Melayani masyarakat merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat.
b.      Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai.
c.       Menggunakan hasil penelitin dan aplikasi dari teori ke praktik.
d.      Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang
e.       Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai persyaratan yang masuk
f.       Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu
g.      Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang gerhubungan denan layanan yang diberikan
h.      Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien
i.        Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari supervisi dalam jabatan
j.        Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri
k.      Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya
l.        Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan. 
m.    Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari pablik dan kpercayaan diri setiap anggotanya mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi
Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur berdasarkan intelektual. Dapat                    la diartikan profesi sebagai spesialisasi dari jabatan intelektualyang diperoleh melalui study dan training, bertujuan menciptakan keterampilan, pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga keterampilan dan pekerjaan itu diminati, disenangi oleh orang lain, dan dia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji (payment)
2.      Syarat-syarat Profesi
Berdasarkan pengertian dan cirri-ciri profesi yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik beberapa hal yang menjadi syarat-syarat Profesi seperti;
1.      Standar unjuk kerja.
2.      Lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas.
3.      Akademik yang bertanggung jawab.
4.      Organisasi profesi.
5.      Etika dan kode etik profesi.
6.      Sistem imbalan.
7.      Pengakuan masyarakat

C.    Profesi Guru Dan Syarat-Syaratnya
1.      profesi keguruan
Guru adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme.
Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah : tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1).
Profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/ kekosongan/ kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan “surat tugas” dari kepala sekolah.
Pada dasarnya profesi guru adalah profesi yang sedang tumbuh. Walaupun ada yang berpendapat bahwa guru adalah jabatan semiprofesional, namun sebenarnya lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan karena jabatan guru hanya dapat diperoleh pada lembaga pendidikan yang lulusannya menyiapkan tenaga guru, adanya organisasi profesi, kode etik dan ada aturan tentang jabatan fungsional guru (SK Menpan No. 26/1989).
Usaha profesionalisasi merupakan hal yang tidak perlu ditawar-tawar lagi karena uniknya profesi guru. Profesi guru harus memiliki berbagai kompetensi seperti kompetensi profesional, personal dan sosial.
Jabatan guru dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan tenaga guru. Kebutuhan ini meningkat dengan adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan calon guru untuk menghasilkan guru yang profesional. Pada masa sekarang ini LPTK menjadi satu-satunya lembaga yang menghasilkan guru. Walaupun jabatan profesi guru belum dikatakan penuh, namun kondisi ini semakin membaik dengan peningkatan penghasilan guru, pengakuan profesi guru, organisasi profesi yang semakin baik, dan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru sehingga ada sertifikasi guru melalui Akta Mengajar. Organisasi profesi berfungsi untuk menyatukan gerak langkah anggota profesi dan untuk meningkatkan profesionalitas para anggotanya. Setelah PGRI yang menjadi satu-satunya organisasi profesi guru di Indonesia, kemudian berkembang pula organisasi guru sejenis (MGMP).
2.      Syarat-syarat profesi keguruan
Adapun syarat-syarat Profesi Keguruan adalah sebagai berikut;
a.       Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
b.      Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c.       Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
d.      Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
e.       Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f.       Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
g.      Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
h.      Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

D.    Ruang Lingkup Profesi Keguruan
Ruang lingkup layanan guru dalam melaksanakan profesinya, yaitu terdiri atas (1) layanan administrasi pendidikan; (2) layanan instruksional; dan (3) layanan bantuan, yang ketiganya berupaya untuk meningkatkan perkembangan siswa secara optimal.
Ruang lingkup profesi guru dapat pula dibagi ke dalam dua gugus yaitu gugus pengetahuan dan penguasaan teknik dasar profesional dan gugus kemampuan profesional. Kompetensi kepribadian merupakan sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan pribadi dengan segala karakteristik yang mendukung terhadap pelaksanaan tugas guru.
Beberapa kompetensi kepribadian guru antara lain sebagai berikut.
a.       Beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
b.       Percaya kepada diri sendiri.
c.       Tenggang rasa dan toleran.
d.      Bersikap terbuka dan demokratis.
e.       Sabar dalam menjalani profesi keguruannya.
f.       Mengembangkan diri bagi kemajuan profesinya.
g.      Memahami tujuan pendidikan.
h.      Mampu menjalin hubungan insani.
i.        Memahami kelebihan dan kekurangan diri.
j.        Kreatif dan inovatif dalam berkarya.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Jabatan guru merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.
Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan pemerintah.



















DAFTAR PUSTAKA


Soetjipto, Raflis Kosasi, 1999, Profesi Keguruan, Cetakan ke I, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta
Suharsimi Arikunto, 1980 Pengelolaan Kelas dan Siswa”, Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rajawali.
Suharsimi Arikunto, 1993, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.